Awal mula menjadi peserta BPJS
Sejak 2014, saya sudah lama membayarkan asuransi kesehatan BPJS kelas I. Kadang-kadang, ketika saya membayar di Indomaret, saya suka mendapat hadiah promosi seperti susu dan minuman lain. Meski demikian, kebanyakan promo ini tidak tetap dan seringkali kasir beralasan "stok tidak ada".
Alasan keluarga saya mengikuti BPJS saat itu tentu tidak mengharapkan jatuh sakit, melainkan bersedekah. Dalam pemahaman keluarga saya, sistem BPJS meliputi menghimpun uang dari para peserta lalu membayarkannya kepada pihak-pihak lain yang sakit. Ada tetangga saya yang menolak menggunakan BPJS karena "uang tidak kembali", berbanding terbalik dengan beberapa jaminan kesehatan swasta yang menawarkan pengembalian uang jika tidak digunakan.
Benar sekali istilah SADIKIN (sakit sedikit miskin) dahulu. Mental yang ditanam untuk masyarakat miskin atau ekonomi menengah ke bawah adalah "yang miskin dilarang sakit".
Penyebab saya menggunakan BPJS
Pada awal semester tiga, saya dikejutkan dengan kehadiran floater di mata saya. Berbekal riset internet melalui WebMD dan forum pasien, saya dikejutkan bahwa kemunculan floater yang tiba-tiba bisa mengindikasikan robeknya retina-suatu kondisi berbahaya yang mengancam penglihatan. Selama beberapa bulan saya ragu dan pemikiran berkecamuk. Saya memiliki faktor risiko ablasio karena miopia saya yang moderat. Meski sudah 5 tahun tidak mengganti kacamata, saya tahu bahwa peluang itu ada.
Dalam memutuskan akan melakukan pemeriksaan atau tidak, ketakutan saya berlandaskan dua hal:
1. Biaya operasi
2. Waktu pemulihan yang akan mengganggu jadwal saya sebagai mahasiswa
Namun, akhirnya saya memberanikan diri untuk melakukan pemeriksaan. Berdasar berbagai sumber dikatakan bahwa memeriksa ablaso tidak bisa dilakukan oleh dokter umum. Masalahnya, melakukan konsultasi dengan dokter spesialis cukup mahal. Pengalaman saya waktu berumur 13 tahun ke dokter THT, saya kira-kira habis 600 ribu rupiah sekali konsultasi.
Benar sekali istilah SADIKIN (sakit sedikit miskin) dahulu. Mental yang ditanam untuk masyarakat miskin atau ekonomi menengah ke bawah adalah "yang miskin dilarang sakit". Meski begitu, saya memutuskan tetap harus diperiksa.
Keuntungan BPJS sudah banyak saya dengar, meski kekurangannya juga tidak kalah banyak. Dengan membayar dari 25 ribu hinga 80 ribu rupiah, pengobatan lebih lanjut tidak perlu bayar lagi. Seorang saudara saya pernah menjalani operasi pemasangan cincin jantung yang tidak mengeluarkan uang sepeser pun(kecuali untuk fotokopi KK, KTP, dan surat administrasi lain). Akhirnya, saya pun mengecek mata saya dengan BPJS.
Mekanisme
Mekanisme BPJS memang cukup rumit, tidak bisa Anda datang langsung ke rumah sakit dan ditangani. Untuk pemeriksaan dan meminta rujukan pertama Anda harus mendatangi fasilitas kesehatan pertama di wilayah Anda. Fakses I itu meliputi puskesmas di kelurahan Anda.
gambar 1: alur menggunakan BPJS |
Hal yang mungkin membuat orang enggan mengikuti alur ini adalah antrian di tiap proses. Di Faskes I, Anda harus mengambil nomor antrian yang cukup panjang. Bisa saya pastikan, di manapun Anda mendaftar BPJS, antrian untuk mendapat pelayanan akan cukup panjang.
Bukan hanya di faskes I, kemungkinan besar Anda juga harus mengantri di RS rujukan. Saat saya di hermina, saya menghabiskan waktu 4 jam mengantri dan menunggu dokter. Sementara di SMEC, seingat saya lebih lama karena ada beberapa kali tahap pemeriksaan.
Pengalaman Menunggu Antrian BPJS
Saya dua kali melakukan pemeriksaan mata, pertama di RS Hermina dan kedua di SMEC Jakarta. Pemeriksaan pertama dilakukan dengan slit lamp. Saat itu saya masih ragu sebab berdasar jurnal ini, ada 11% kemungkinan pemeriksaan tidak berhasil mendeteksi robekan retina.
Setelah 1 bulan, saya kembali melakukan pemeriksaan yang lebih komprehensif di RS khusus mata SMEC Jakarta. Keputusan saya ini dirasa tepat karena pelayanan di SMEC cukup komprehensif yang meliputi tes refraksi mata (mendeteksi miopia, hipermetropi, dan astigmatisme) dan dilanjutkan dengan optamologis umum. Saat saya menyampaikan keluhan saya, dokter mata sudah cukup responsif dan menduga keluhan saya. Segera dia menawarkan saya untuk mengecek retina langsung dengan dokter yang bekerja di ruang sebelahnya. Saya mengambil rujukan pada hari itu juga tentu karena saya malas datang lagi di lain hari dan mengikuti prosedur administratif yang panjang. Pada hari itu juga, saya mengecek retina saya.
Kembali saya mengantri. Sebelum dicek, kedua mata saya ditetesi oleh obat pembesar pupil. Saya sudah menduga prosedur ini dalam pemeriksaan retina. Metode ini disebut dilated eye examination yang merupakan prosedur dasar dalam memeriksa retina. Obat yang digunakan memerlukan waktu untuk bekerja. Dalam pengalaman saya, butuh 4-5 kali tetes sambil menunggu antrian. Yesss... saya menunggu lagi sekitar 1 jam untuk melakukan pemeriksaan retina.
Puji Tuhan, retina saya baik-baik saja meski dengan berbagai visual noise(kebisingan penglihatan) dan floaters. Setidaknya saya masih diberi kesempatan untuk melihat. Dokter meresepkan vitrolenta untuk floaters(yang membuat saya bertanya-tanya mengenai cara kerjanya terkait zat aktifnya "hanya" garam KI dan NaI-ehem maafkan jiwa kimiawan saya yang bangkit dan heran).
Dalam menangani ablasio, setahu saya harus dilakukan secepatnya sebelum mencapai makula. Saya lihat RS SMEC ini telah memiliki fasilitas yang HARUS didatangi secepatnya jika Anda mengalami ablasio(yaitu ruang gawat darurat khusus mata). Selain banyak bersyukur, saya rasa fasilitas BPJS ini bisa menjadi jembatan bagi keluarga berpenghasilan rendah yang jarang sekali punya akses untuk menjaga kesehatan jasmaninya.
PLUS MINUS BPJS
Plus
-Jaminan kesehatan yang murah
-Boleh diakses oleh semua golongan baik miskin, menengah, dan kaya
-Bisa digunakan untuk membeli kacamata, cabut gigi, dan operasi besar lain juga.
-peluang bisnis fotokopi di sekitar RS yang menerima BPJS :P
percayalah, banyak sekali pasien baru tiap hari yang sering lupa menyiapkan fotokopi berkas!
Minus
-Antrian sangat panjang. Di SMEC, ada berlapis-lapis antrian dengan tenaga kesehatan dokter yang praktik tiap harinya sekitar 2-3 orang saja. Belum bagian administrasi yang hanya diisi 5-6 orang. Ruang tunggu sangat sempit dan tidak dapat menampung ratusan pasien tiap harinya.
-Prosedur berlapis
-Hanya dapat mengakses fasilitas kesehatan di wilayahnya. Misal, saya tinggal di Jakarta Timur sehingga saya tidak bisa mendapat akses konsultasi ke wilayah Jakarta Pusat(misal RSCM Kirana) jika tidak dirujuk oleh dokter matanya langsung.
-Jumlah rumah sakit yang mengikuti BPJS masih kurang padahal dibutuhkan. Saya sangat berharap RS spesialis di Indonesia bisa hadir di tiap wilayah lingkup BPJS. Misal RS kanker di Indonesia yang terbatas sehingga diagnosis awal menjadi terbatas pula. Akhirnya, banyak pasien kanker yang baru mendapat diagnosis tepat setelah stadium lanjut. Padahal, jika sudah muncul kecurigaan terhadap penyakit yang dideritanya, setiap warga negara berhak untuk mendapat diagnosis komprehensif.
Dalam proyek saya berikutnya, saya tertarik untuk mencari solusi dalam memperluas akses kesehatan bagi masyarakat-despite being engineer- termasuk cara untuk memperbaiki sistem BPJS. Semoga saja kita semua kerap diberkati kesehatan dan keinginan untuk memperbaiki sekitar kita.